gbm.my.id – Jumat, 12 Agustus 2016. Alarm di ponsel saya berbunyi pelan, membangunkan saya dari lelapnya tidur. Jarum jam menunjukkan pukul 05.00 pagi. Udara dingin menusuk kulit, tetapi saya tetap beranjak dari ranjang, melangkah ke kamar mandi. Meraih gayung, menumpahkan air ke seluruh tubuh, memberi kesegaran untuk memulai hari.
Setelah mengenakan pakaian, saya keluar kamar. Sepi. Saya mengetuk pintu kamar rekan-rekan panitia, namun hanya satu yang menjawab, sementara lainnya telah pergi untuk jalan pagi. Saya pun memutuskan untuk keluar dan berjalan menyusuri jalan raya.
Dari kejauhan, seorang pria datang dari arah berlawanan. Senyum ramahnya menyapa pagi yang masih berselimut embun. “Mau kemana?” tanyanya. Saya tersenyum dan menjawab, “Ke pelabuhan.” Tanpa ragu, ia memanggil seorang pengojek yang kebetulan melintas. Tawaran yang tak saya tolak.
“Pelabuhan, Om,” kata saya kepada pengojek itu.
Motor melaju menyusuri jalanan yang masih lengang. Namun, di tengah perjalanan, mata saya menangkap pemandangan yang tak bisa saya abaikan—pelabuhan pendaratan ikan. Hati saya tergoda. Tanpa berpikir panjang, saya meminta sang ojek untuk berhenti sejenak di sana. Aroma laut yang khas bercampur bau ikan segar menyambut kedatangan saya. Nelayan tampak sibuk dengan hasil tangkapan mereka, sementara burung camar berputar-putar di langit, seolah ikut menikmati pagi.
Tak ingin kehilangan momen, saya mengabadikan suasana dengan kamera yang selalu saya bawa dalam setiap perjalanan. Setiap sudut pelabuhan ini menyimpan kisah. Para nelayan yang bersenda gurau, wajah-wajah lelah namun penuh harapan, dan kapal-kapal kecil yang bersandar dengan setia.
Setelah puas, perjalanan berlanjut ke pelabuhan kapal penumpang yang menjadi tujuan awal saya. Namun, di sana tak tampak kapal penumpang bersandar. Hanya ada kapal barang yang tengah merapat, membawa muatan yang entah apa isinya. Teluk Larantuka tampak teduh pagi itu, airnya tenang, memantulkan cahaya matahari yang mulai naik perlahan.
Namun, pikiran saya tiba-tiba berubah. “Om, antar saya ke mata air panas?” Saya mengajukan permintaan spontan kepada pengojek.
Sang ojek terdiam sejenak, lalu membuka jok motornya untuk mengecek isi tangki bensin. Mata air panas itu cukup jauh—sembilan kilometer ke arah barat dari jantung Kota Renha. Saya menunggu keputusannya dengan penuh antisipasi. Apa ia bersedia?
Setelah memastikan bensin cukup, pengojek itu mengangguk. “Baik, kita ke mata air panas,” katanya sambil menutup jok motor dan kembali menyalakan mesin. Saya naik ke boncengan, dan motor pun kembali melaju, meninggalkan teluk yang tenang di belakang kami.
Perjalanan menuju mata air panas membawa saya melewati jalanan yang semakin sunyi. Pepohonan rimbun di kanan dan kiri jalan menari perlahan ditiup angin pagi. Sesekali, kami melewati rumah-rumah penduduk yang masih tertidur, dengan asap dapur mulai mengepul di beberapa sudut kampung.
Setelah sekitar 30 menit perjalanan, akhirnya kami tiba di lokasi mata air panas. Tempat itu tampak sepi, hanya ada beberapa warga yang sedang menikmati rendaman di air hangat yang menguarkan aroma belerang. Saya turun dari motor dan melangkah ke tepi mata air. Uap tipis naik dari permukaan, menciptakan suasana mistis yang menenangkan.
Saya mencelupkan tangan ke dalam air. Hangat, pas untuk meredakan lelah setelah perjalanan pagi ini. Saya duduk di tepi kolam alami itu, mengamati lingkungan sekitar. Batu-batu besar membingkai mata air, pepohonan menjulang tinggi seakan menjadi pelindung alami dari terik matahari.
Rasanya ingin berlama-lama di sini. Namun, waktu terus berjalan, dan perjalanan saya masih panjang. Saya menarik napas dalam-dalam, merekam setiap momen dalam ingatan sebelum akhirnya beranjak untuk kembali ke kota.
Larantuka, pagi ini kau berikan petualangan kecil yang begitu berharga. ***