gbm.my.id – Pertama kali saya mengenakan sabuk pengaman bukan karena kesadaran akan keselamatan, melainkan karena keadaan yang memaksa. Itu terjadi pada Maret 2013, dalam perjalanan pulang dari Mbay ke Ende. Bukan perkara aturan atau kebiasaan, tetapi lebih kepada kondisi penumpang yang berdesakan di dalam mobil travel yang saya tumpangi.

Perjalanan dengan travel sejatinya menawarkan kenyamanan, tetapi di Flores, ada saat-saat tertentu di mana kenyamanan itu sulit didapatkan. Jalur yang menantang, jumlah penumpang yang melebihi kapasitas, dan komunikasi yang kurang harmonis antara sopir dan penumpang sering kali menciptakan perjalanan yang jauh dari kata nyaman. Saya mengalaminya sendiri pada perjalanan itu, ketika terhimpit di bangku tengah mobil Avanza bersama tiga penumpang lain.

Empat orang di bangku tengah, dengan tiga di antaranya adalah perempuan—PNS Pemda Nagekeo yang tengah melakukan perjalanan dinas ke Kupang. Saya tidak mengenal mereka, tetapi dari percakapan mereka, saya bisa menebak latar belakang mereka. Sementara itu, jalan raya Mbay-Ende sedang dalam perbaikan. Tikungan demi tikungan membuat tubuh penumpang terus bergeser tanpa kendali. Kepala miring ke kanan dan kiri mengikuti gerakan mobil yang lincah melibas jalanan.

Saat itulah, untuk pertama kalinya saya memutuskan mengenakan sabuk pengaman. Bukan karena takut kecelakaan, tetapi lebih karena rasa tidak nyaman akibat tubuh yang terus terombang-ambing dalam desakan.

Beberapa tahun setelahnya, di Australia, pengalaman saya terhadap sabuk pengaman berubah total. Ardi dan Iben, teman saya di Townsville, selalu mengingatkan pentingnya mengenakan sabuk pengaman, bahkan untuk perjalanan jarak dekat sekalipun. Di sana, mengenakan seat belt bukan hanya sekadar aturan, tetapi sudah menjadi kebiasaan yang tertanam dalam budaya berkendara mereka.

Kini, setiap kali saya melakukan perjalanan, termasuk pagi ini dari kampung ke Ende, saya selalu teringat pesan mereka. Saya mengenakan sabuk pengaman, bukan lagi karena kondisi berdesakan atau penumpang di sebelah saya, tetapi karena kesadaran akan keselamatan.

Ironisnya, di Indonesia, kebiasaan ini masih sering disepelekan. Bahkan di pesawat, yang sudah jelas memiliki aturan ketat, masih ada satu-dua orang yang enggan mengenakan sabuk pengaman. Apalagi di darat? Para sopir travel yang seharusnya menjadi contoh justru sering kali mengemudi tanpa seat belt. Jika mereka sendiri tak mengenakannya, bagaimana mungkin mereka bisa mengingatkan penumpang?

Mungkin, suatu saat nanti, sopir travel perlu didampingi oleh seorang kernet sekelas pramugari yang dengan penuh ketelitian memperagakan cara penggunaan sabuk pengaman sebelum perjalanan dimulai. Bayangkan saja, sebelum mobil berangkat, seorang kernet berdiri di tengah mobil dan berkata dengan sopan, “Para penumpang yang terhormat, demi keselamatan kita bersama, silakan kenakan sabuk pengaman Anda.”

Lucu? Mungkin. Tapi jika itu bisa membuat lebih banyak orang sadar akan pentingnya keselamatan berkendara, mengapa tidak?***