gbm.my.id – Masih dalam suasana kebahagiaan pernikahan adik John dan Sari—pemuda Nagekeo dan gadis Manggarai—sebuah tradisi khas Manggarai mengiringi hari-hari awal mereka sebagai pasangan suami istri. Sesuai adat, setelah pernikahan kudus, kedua mempelai diwajibkan tinggal di rumah pengantin perempuan selama tiga hari. Ini bukan sekadar aturan adat, tetapi sebuah bentuk penghormatan dan kebersamaan keluarga besar.
Hari ini, 1 Juni 2015, momen penting lainnya tiba. Keluarga muda ini dihantar oleh sanak saudara dari Manggarai menuju rumah mempelai laki-laki di Kayu Putih. Suasana penuh kehangatan dan keakraban menyertai perjalanan ini, menandai perjumpaan ketiga antara keluarga besar Nagekeo dan Manggarai setelah prosesi pinangan dan pernikahan. Dalam kesempatan ini, Bapak Frans Ganggas, mewakili keluarga Waembeleng, memberikan sebuah wejangan yang sarat makna. Ia memperkenalkan sebuah filosofi yang terdengar sederhana, namun menyimpan hikmah mendalam: Filosofi Asap Dapur.
Asap Dapur dan Maknanya
Sebelum kehadiran kompor minyak dan listrik, dapur di rumah-rumah kita menggunakan kayu bakar sebagai sumber api. Dari sanalah kepulan asap membumbung tinggi, menjadi tanda bahwa kehidupan terus berjalan di dalam rumah itu. Asap dari dapur bisa menyebar ke mana-mana—ke kamar tidur, ruang tamu, bahkan sampai ke rumah tetangga. Semakin pekat asapnya, semakin tinggi tingkat polusinya. Mengganggu pernapasan, menyesakkan dada.
Bapak Frans mengaitkan fenomena ini dengan kehidupan rumah tangga. Pernikahan bukan sekadar perayaan bahagia, tetapi sebuah perjalanan panjang yang penuh dengan lika-liku. Kerikil tajam, onak duri, dan berbagai tantangan siap menghadang di sepanjang jalan. Pertengkaran, kesalahpahaman, dan gesekan kecil adalah bumbu yang tak terhindarkan. Namun, seperti asap dapur, masalah dalam rumah tangga tidak boleh dibiarkan menyebar ke luar. Jika tidak dikendalikan, ia bisa mengusik kenyamanan orang-orang di sekitar, termasuk keluarga besar dan tetangga.
Pesan untuk John dan Sari
Dalam nasihatnya, Bapak Frans menekankan bahwa setiap pasangan harus mampu menyelesaikan masalahnya sendiri. Ia berpesan agar John dan Sari tidak membiarkan ‘asap dapur’ mereka mengepul terlalu jauh. Kamar tidur suami-istri harus menjadi ruang penyelesaian, tempat untuk saling mendengar dan memahami. Jangan biarkan permasalahan yang muncul melibatkan mertua, ipar, atau bahkan tetangga. Jika tidak dikendalikan, masalah kecil bisa menjadi besar, dan rumah tangga yang seharusnya menjadi tempat bernaung berubah menjadi medan peperangan.
Dengan nada tegas, ia menutup pesannya, “Anak John dan Sari tidak boleh belajar filosofi asap dapur.” Sebuah kalimat yang menghentak, menyiratkan betapa pentingnya menjaga keharmonisan rumah tangga dengan bijak.
Pesan ini bukan hanya untuk John dan Sari, tetapi juga untuk kita semua. Momen bersejarah dalam hidup mereka ini telah memberi kesempatan bagi kita untuk merenungkan sebuah filosofi yang sederhana namun begitu bermakna. Sebuah kado istimewa dari pernikahan mereka, tidak hanya bagi keluarga, tetapi juga bagi siapa saja yang ingin membangun rumah tangga yang kokoh dan harmonis. (gbm)