gbm.my.id – Tiba di Tambolaka bukanlah yang pertama bagi saya. Sudah berkali-kali kaki ini memijak tanah Sumba, namun tetap saja ada segumpal rindu yang membuncah setiap kali meninggalkannya. Sumba selalu punya cara untuk memanggil kembali, menawarkan keindahan yang tak cukup dinikmati sekali, dua kali, atau bahkan berkali-kali.
Pagi itu, Jumat (30/11/2018), sang fajar menyambut kami di Tambolaka dengan hangat. Begitu turun dari pesawat Nam Air, hati saya sudah dipenuhi bayangan tentang tempat-tempat indah yang akan kembali saya kunjungi. Waikuri, kolam alami yang konon menjadi permandian para putri kayangan. Pantai Mandora, sebuah teluk mungil berpasir putih, tempat persembunyian bidadari kala turun ke bumi. Ratenggaro, perkampungan adat uzur yang sarat daya magis. Ah, masih banyak lagi pesona Sumba yang siap menyihir siapa pun yang datang.
Di ruang kedatangan Bandara Tambolaka, tulisan “Welcome to Sumba” menyambut dengan hangat. Tak jauh dari sana, sebuah baliho besar menampilkan keindahan Sumba dalam gambar-gambar yang begitu menggoda. Tak bisa menahan diri, kami pun berhenti sejenak, mengabadikan momen dengan latar tulisan dan gambar yang sangat “instagramable” itu.
Keluar dari bandara, kami masih harus menunggu jemputan. Mengisi waktu, saya mengambil beberapa foto suasana sekitar. Bandara Tambolaka memiliki arsitektur unik dengan tiang-tiang besar dan kokoh yang memberikan kesan berbeda dibandingkan bandara lain di NTT, bahkan di seluruh negeri Pasola ini.
Tak lama, mobil jemputan kami tiba. Sopir dan rekannya menyambut dengan ramah. Mereka satu tim dengan Hendrik, teman seperjalanan kami yang bertugas melakukan survei dan pengukuran lokasi tanah yang akan kami kunjungi nanti. Sang sopir, seorang sarjana sipil, ternyata sosok yang ramah dan suka bercerita.
“Bapak-mama sudah berapa kali ke sini?” tanyanya begitu kami keluar dari bandara.
“Sering kali,” jawab Ibu Nelci, yang diamini oleh kami semua.
Dalam perjalanan menuju penginapan, ia kembali bertanya, “Saya coba antar bapak-mama ke sini. Kalau merasa kurang cocok, kita bisa cari tempat lain.”
Kami akhirnya memilih menginap di Ella Hotel, sebuah hotel yang bersebelahan dengan Hotel Sinar Tambolaka. Suasananya masih baru, hening, dan terasa nyaman. Meski kamar belum tersedia karena tamu yang check out belum meninggalkan kamar, kami memutuskan untuk menunggu. Sambil menunggu, kami menitipkan tas dan berangkat menuju Kecamatan Kodi Utara untuk melakukan survei lokasi sekolah baru.
Sebelum berangkat, salah satu teman seperjalanan mengingatkan kami untuk sarapan. Perjalanan ke Kodi bisa memakan waktu lebih dari satu jam, dan di sana tak banyak warung atau rumah makan. Kami pun singgah di sebuah Rumah Makan Padang. Hidangan cepat saji membuat kami tak perlu menunggu lama. Setelah perut terisi, perjalanan menuju Kodi pun dimulai.
Namun, ada satu hal menarik yang diceritakan oleh sang sopir dalam perjalanan ini.
“Bapak dan mama nanti lihat, kalau di jalan Kodi, hanya ada dua jenis pelat kendaraan,” katanya tiba-tiba.
“Maksudnya?” tanya saya penasaran.
“Benar, Bapak. Yang pertama, kendaraan berplat luar. Yang kedua, kendaraan tanpa plat.”
Saya dan teman-teman langsung tertawa. Tapi tetap saja, rasa penasaran membuncah. Benarkah demikian? Mata saya mulai mengamati setiap kendaraan yang melintas.
Tak perlu menunggu lama, sebuah sepeda motor melintas tanpa plat nomor.
“Nah, itu! Benar kan, Bapak?” katanya sambil tertawa.
Tak lama, motor lain melintas. Lagi-lagi tanpa plat. Selanjutnya, sebuah mobil berplat DK (Bali). Namun, kendaraan berplat ED (Sumba) bisa dihitung dengan jari.
Ketika ditanya mengapa demikian, sang sopir hanya menduga-duga bahwa kendaraan-kendaraan ini mungkin hasil jual beli tanpa dokumen resmi. Saya pun tak bisa membenarkan atau menyanggahnya. Namun, yang jelas, fenomena ini menarik untuk ditelusuri lebih jauh.
Di sepanjang perjalanan, mata saya terus mengawasi kendaraan yang melintas. Rasanya tesis sang sopir memang benar adanya. Dari setiap empat kendaraan yang berpapasan dengan kami, hanya satu yang berplat resmi, sedangkan tiga lainnya tanpa plat atau berplat luar.
“Hanya di Kodi! Mereka di sini percaya diri tinggi,” katanya sambil terkekeh.
“Kok bisa begitu?” tanya saya.
“Iya, Bapak. Mereka bisa masuk kota dengan motor tanpa plat dan tanpa helm.”
Sayangnya, selain tak berplat, banyak juga pengendara yang tak mengenakan helm. Bahkan anak-anak dan remaja bebas berkendara tanpa pengawasan orang tua. Bukankah ini membahayakan generasi penerus Sumba?
Meski ada keprihatinan, kami tak bisa menahan tawa sepanjang perjalanan. Candaan sang sopir membuat suasana semakin hidup. Namun, cerita ini juga meninggalkan tanda tanya besar dalam benak saya.
Mengapa kendaraan tanpa plat begitu banyak di Kodi? Dan mengapa hal ini seperti dibiarkan?
Ah, itulah Sumba. Selalu ada cerita menarik di setiap sudutnya. Dan setiap kali meninggalkannya, rindu itu pasti datang lagi…