gbm.my.id – Hari itu adalah momen spesial bagi delapan puluh sembilan Kepala Sekolah SMA, SMK, dan SLB di Nusa Tenggara Timur. Mereka dilantik oleh Wakil Gubernur NTT, Bapak Josef A. Nae Soi, di Aula Fernandez, Gedung Sasando. Suasana di sana begitu berbeda dari hari biasanya. Hiruk-pikuk memenuhi aula, keluarga dan kerabat para Kepala Sekolah silih berganti keluar-masuk menggunakan lift menuju lantai empat, tempat acara berlangsung.

Saya sendiri agak terlambat tiba di aula karena harus menyelesaikan beberapa pekerjaan di lantai satu. Saat saya memasuki aula, lagu Indonesia Raya sudah menggema. Dengan sedikit tergesa, saya menyusup ke sudut aula, bergabung dengan beberapa rekan kerja yang sudah berdiri mengikuti jalannya acara.

Di salah satu sudut aula, saya melihat Flori Bediona, seorang rekan lama ketika saya masih bertugas di Dinas Pendidikan Provinsi NTT. Saya pun berjalan mendekatinya dan meminta lembaran daftar nama Kepala Sekolah yang dilantik sore itu. Saat membaca satu per satu nama, pandangan saya tertuju pada sebuah nama yang sangat familiar. Ferdinandus Jebarut, S.Pd. Nama itu bukan sekadar sebuah nama bagi saya—ia adalah seorang senior di almamater Santu Klaus Kuwu Ruteng.

“Ini kakak kelas saya,” ujar saya kepada Flori.

Niat awal saya untuk tidak mengikuti acara secara penuh pun berubah. Saya memutuskan untuk tetap tinggal hingga akhir, karena saya ingin menemui senior saya itu.

Kae Ferdy, begitu saya biasa menyapanya, adalah kakak kelas yang begitu baik, sama seperti Kae Micky Dahus. Bukan berarti senior-senior lain tidak baik, namun dua sosok ini memiliki hubungan yang unik dengan saya. Kebaikan mereka begitu membekas, hingga saya merasa tak bisa membalasnya.

Ketika pertama kali tiba di Santu Klaus, saya adalah seorang anak kecil yang tidak mengenal siapa pun, kecuali John Ruth yang dikirim oleh Sr. Virgula untuk mendampingi saya. Saat itu, atas ‘perintah’ Pater Wasser SVD, saya semeja makan dengan siswa-siswi SMA. Ruang makan mereka tidak jauh dari kamar tidur saya, hanya perlu beberapa langkah saja. Belakangan, saya menyadari bahwa Pater Wasser mempertimbangkan kondisi saya sebagai seorang penyandang kebutuhan khusus.

Di meja makan itu, saya duduk bersama Kae Ferdy, Kae Micky, Kae Stef, dan beberapa nama lain yang kini samar dalam ingatan. Saya masih duduk di bangku kelas II SMP, sementara mereka di kelas II SMA. Menu makan kami pun sedikit berbeda; anak-anak SMA mendapat lauk ikan kering, sedangkan untuk SMP hanya di siang hari. Sayurnya sering kali berupa “saung daeng”, kadang dicampur dengan lemak babi. Namun, keterbatasan itu tak pernah melunturkan semangat kami untuk belajar.

Kae Ferdy dan Kae Micky memiliki kebiasaan yang hingga kini tak bisa saya lupakan. Bila jam pelajaran atau jam belajar belum selesai, mereka akan membawakan makanan ke kamar saya. Mereka melakukannya berkali-kali, tanpa pernah saya minta. Kebaikan seperti itu sulit dicari tandingannya, dan saya merasa berutang budi kepada mereka.

Sejak Kae Ferdy tamat tahun 1992, kami hanya bertemu dua kali. Pertama, secara tak sengaja, di Maumbawa, Nagekeo, pada tahun 2007. Saat itu, saya baru tahu bahwa ia mengajar di SMAN Mauponggo, satu-satunya SMA di kampung halaman saya. Ia sedang dalam proses kepindahan ke Manggarai. Kedua, pertemuan kami hari ini, pada momen istimewanya sebagai Kepala Sekolah yang baru dilantik.

Sebagai juniornya, saya merasa bangga. Saya tahu betul kemampuannya, baik secara akademis maupun kepemimpinan. Di almamater kami, kepemimpinan diajarkan sejak dini, bahkan dalam tataran praktik. Mulai dari ketua kamar tidur, kamar makan, hingga ketua OSIS. Itulah sebabnya saya sangat yakin, Kae Ferdy akan menjadi Kepala Sekolah yang sukses.

Namun, kebahagiaan saya sore itu harus segera disudahi karena pekerjaan yang menanti di ruang kerja. Sebelum pergi, saya meninggalkan sebuah pesan untuknya:

“Kae, ujian bagi kita adalah memimpin sekolah dengan keterbatasan. Jika kita mampu menoreh prestasi di sekolah seperti itu, di situlah kepemimpinan kita benar-benar diuji. Itulah ukuran kehebatan kita. Dan aku yakin, kita pasti mampu melampauinya, seberapa sulit pun tantangannya.”

Saya menyampaikan pesan ini setelah mengetahui bahwa ia dilantik sebagai Kepala SMAN 2 Satarmese, sekolah yang jauh dari tempat tinggalnya dan keluarganya.

“Pada akhirnya, saya berpikir seperti itu juga, Ase,” jawabnya mantap.

Saya memahami apa yang ia maksud. Banyak orang lebih memilih menjadi Kepala Sekolah di kota, di sekolah yang lebih besar dan memiliki banyak siswa. Tapi, ujian sesungguhnya justru ada di tempat-tempat yang menuntut pengorbanan lebih besar.

Saya sangat yakin Kae Ferdy mampu mewujudkan pesan Bapak Wakil Gubernur NTT: seorang guru atau Kepala Sekolah harus mampu membentuk anak-anak dengan knowledge (pengetahuan), skills (keterampilan), dan attitude (perilaku). Untuk mencapai itu, seorang pendidik tak cukup hanya mengandalkan otot dan otak, tapi juga harus menggunakan hatinya.

Kae Ferdy, kita berdua sama-sama tahu bahwa Santu Klaus adalah “laboratorium” kepemimpinan yang baik. Kita belajar dari para guru kita, dari para pembina asrama, dan terutama dari sang guru besar kita, Pater Ernest Wasser, serta pelindung almamater kita, St. Klaus, sang pembawa damai.

Selamat berkarya, Kae. Tuhan akan menuntun tangan dan langkahmu, serta membimbing kata-katamu untuk mendidik anak-anak bumi “congka sae” menuju masa depan yang lebih baik.