gbm.my.id – Lama sudah hasrat ini tersimpan, kerinduan untuk bertemu kembali dengan sosok yang bukan sekadar guru, tetapi juga inspirator: Pater Ernst Wasser SVD. Pendiri dan pendidik Lembaga Pendidikan St. Klaus Kuwu. Namun, hasrat itu tak pernah kesampaian sejak saya meninggalkan almamater dua puluh tiga tahun silam.
Jejak Awal di St. Klaus
Sejak pertama kali diterima di lembaga pendidikan yang didirikannya, saya mendapat perlakuan yang berbeda. Saya diterima di SMP St. Klaus sebagai murid pindahan di kelas dua—suatu hal yang hampir mustahil karena lembaga ini tidak menerima siswa pindahan. Meja makan saya pun tak seperti yang lain, bergabung dengan siswa SMA, meski biasanya dipisahkan berdasarkan jenjang pendidikan dan jenis kelamin. Tak hanya itu, kamar tidur saya ditempatkan dekat dengan ruang makan. Semua ini baru saya pahami bertahun-tahun kemudian, saat petualangan membawa saya ke Bali dan Australia. Rupanya, alasannya adalah aksesibilitas.
Pater Wasser memang sosok unik—pekerja keras, disiplin, dan sangat peduli. Saya pernah diuji olehnya. Diizinkan melanjutkan ke SMA meskipun rapor merah, tetapi dengan satu catatan:
“Kraeng, saya beri kesempatan. Kalau kraeng berubah, kraeng bertahan di sini. Jika tidak, kraeng angkat kaki.”
Kata-kata itu terus terngiang, menjadi cambuk yang mengubah saya. Perlahan, hubungan saya dan Pater sedikit berjarak karena rapor merah itu. Namun, hak-hak saya sebagai anak didik tetap tak berkurang.
Menjelang tamat SMA, ia memanggil kami satu per satu. Meminta kami menggambar sesuatu, lalu bertanya: “Lanjut ke mana setelah tamat nanti?” Banyak yang ingin ke Seminari Tinggi, ada juga yang ke Pulau Jawa. Saya sendiri bercita-cita menjadi arsitek. Pater, dengan karismanya, tak pernah memaksakan pilihan. Ia justru mengarahkan dengan intuisi tajam. Siapa yang ia sarankan ke STKIP Ruteng atau perguruan tinggi lain, biasanya memang akhirnya memilih jalur awam ketimbang imamat.
Kerinduan yang Tertahan
November lalu, kabar sakitnya menggugah hati. Pater opname di Surabaya, lalu dirujuk ke Rumah Sakit St. Carolus, Jakarta. Saya melihat di media sosial bagaimana rekan-rekan alumni mengunjunginya. Ada sukacita yang terpancar. Saya tahu, mereka hanya ingin mengucapkan terima kasih. Sebab, titik pencapaian kami hari ini tak lepas dari jasanya.
Namun, kecemburuan pun muncul. Teman-teman di Jakarta bisa bertemu dengannya dengan mudah, sementara saya yang bersusah payah mencari tugas ke Manggarai, justru harus menerima kenyataan bahwa Pater opname di Jakarta. Namun, dalam batin, saya tetap berharap.
Doa itu akhirnya dijawab. Saat Pater telah kembali ke istananya di Wangkung, kesempatan ke Ruteng datang lagi.
Perjalanan Menuju Wangkung
Sehari di Ruteng, saya menghubungi Bapak Maksi Mbanggur, guru agama saya. Dari beliau, saya mendapat nomor kontak anak angkat Pater. Namun, jawaban yang saya dapatkan masih abu-abu. Akhirnya, saya menyampaikan niat ini kepada dua sahabat: Ansy Pau dan Vitalis Mampul. Mereka menyarankan, “Langsung saja ke Wangkung!”
Keesokan paginya, bersama Vitalis, saya berangkat ke Wangkung. Setengah sembilan pagi, kami tiba di rumah Pater. Sopirnya segera menyampaikan maksud kedatangan kami kepada asistennya. Tak lama, terdengar langkah kaki yang berpadu dengan hentakan tongkat di lantai keramik. Suara itu makin jelas, lalu muncullah wajah yang begitu dirindukan.
Haru menyeruak. Air mata nyaris tumpah, namun saya menahan perasaan sekuat tenaga. Pater menyunggingkan senyum. Kami menyalami dan mencium tangannya satu per satu, lalu ia duduk di kursi yang telah disediakan.
“Kamu dosen, kan?”
Saya terkejut. Artinya, selama ini Pater tetap mengikuti jejak kami.
“Itu dulu, Pater. Saya sudah pindah kerja sejak 2009.”
Meski masih dalam perawatan, Pater begitu bersemangat bercerita, terutama tentang proyek air minum di Labuan Bajo.
“Saya bukan pemimpin. Saya bukan orang bisnis. Saya hanya mau menolong orang yang membutuhkan.”
Kami berusaha meyakinkannya untuk beristirahat terlebih dahulu, tetapi pikirannya tetap pada masyarakat. Jiwa dan pengorbanannya total untuk pembangunan di Manggarai.
Misi Terakhir Pater
Di tengah obrolan, Pater menyampaikan keresahannya tentang guru-guru di Manggarai. Ia ingin ada organisasi bagi mereka.
“Bagaimana mereka bisa menuntut siswa disiplin, kalau mereka sendiri tidak disiplin?”
Ia juga berbicara tentang Gereja di Manggarai, termasuk harapannya kepada Uskup Mgr. Sipri Hormat yang baru.
Saat perjumpaan hendak usai, ia berulang kali mengungkapkan kebanggaannya pada alumni yang datang menemuinya. Sebelum berpisah, saya meminta berkatnya. Tangannya yang sudah renta menumpangi kepala saya. Ia berdoa, lalu memberkati kami satu per satu.
Refleksi: Sang Pelayan Sejati
Dalam perjalanan pulang, saya merenungkan kata-katanya: “Saya bukan pemimpin. Saya bukan orang bisnis.” Pater memang bukan sekadar pemimpin dalam struktur. Ia seorang pelayan sejati. Ia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani.
Pater tak hanya membangun sekolah dan gereja, tetapi juga masjid untuk umat Muslim. Ia membangun tanpa menghitung untung dan rugi, karena yang terpenting baginya adalah kualitas karya, bukan keuntungan.
Terima kasih, guruku. Inspirator dan idolaku. Jasa-jasamu tak akan pernah pudar. *