gbm.my.id – Pukul 04.30. Alarm berdering. Mimpi yang baru saja mulai bersemi di ujung malam seketika buyar. Aku terbangun di kota yang selalu menghadirkan rindu—Ruteng, si kota dingin nan molas. Malamku tak sepenuhnya lelap, hanya tidur ayam, begitu orang kampungku menyebutnya. Sesekali terjaga, bukan semata karena penerbangan pagi yang mengharuskan kami bergegas ke bandara, tetapi lebih karena hasrat yang tak tertahankan untuk menghirup udara pagi di kota ini.
Ruteng selalu punya cara sendiri untuk memanggilku bangun lebih awal. Setiap kota yang kukunjungi, ritual pagiku selalu sama: berjalan-jalan menyapa pagi. Sayangnya, pintu keluar hotel masih terkunci rapat. Karyawan belum bangun. Aku pun kembali ke kamar, mandi, lalu menunggu. Setengah jam kemudian, suara aktivitas di dapur terdengar. Aku meminta seorang karyawati membuka pintu.
Begitu pintu terbuka, aku disambut hawa pagi yang segar dan sepi. Kota Ruteng masih terlelap. Satu-dua kendaraan roda dua melintas, sementara lebih banyak warga memilih menyongsong pagi dengan berjalan kaki. Aku pun menjadi salah satu di antara mereka.
Melangkah perlahan menuju Kantor Bupati Manggarai, aku berpapasan dengan orang-orang yang mengenakan jaket tebal dan topi. Kami saling bertukar senyum dan anggukan kecil. Beringin tua di simpang empat Kantor Bupati berdiri gagah, menjadi saksi bisu peradaban kota ini. Andai ia bisa bercerita, entah berapa banyak kisah yang akan keluar dari mulutnya.
Lapangan Motang Rua masih seperti dulu. Dudukan tiang bendera dari semen, tribun setinggi satu meter, serta podium permanen di depan Kantor Bupati tetap tak banyak berubah. Pagi ini, lapangan itu sepi. Orang-orang lebih memilih berjalan di sepanjang jalan raya yang masih lengang, enggan menantang hawa dingin di rerumputan.
Aku terus berjalan ke perempatan besar yang menghubungkan empat arah: Katedral tua, Pasar, Polres Manggarai, dan Kantor Bupati. Warga mulai bermunculan, ada yang berjalan kaki, ada yang berlari kecil, dan ada pula yang naik kendaraan. Pagi di Ruteng memang istimewa. Udara sejuknya, bangunan-bangunannya, dan suasananya selalu membawaku ke dalam nostalgia yang menghangatkan hati.
Di depan Katedral tua, aku berhenti sejenak. Keanggunan bangunan ini, berpadu dengan latar perbukitan Mandasawu, menghadirkan nuansa seperti di sebuah kota kecil di Eropa. Aku mengabadikan momen ini, juga sudut-sudut Motang Rua dan kompleks pertokoan yang nyaris tak berubah sejak aku meninggalkan Manggarai.
Lapangan ini menyimpan banyak kenangan. Aku ingat, dulu di sini aku menyaksikan pertandingan sepak bola antar sekolah. Almamaterku, SMP/SMA St. Klaus, selalu bertanding tanpa suporter besar, tetapi selalu mendapat dukungan dari penonton yang menyukai gaya permainan kami. “Anak-anak seminari,” begitu mereka menyebut kami, meskipun sekolah kami bukan seminari. Rasa bangga itu masih terasa hingga kini.
Ruteng juga menyimpan kenangan nakalku. Pernah sekali, aku membolos dari asrama di Kuwu hanya untuk makan bakso di kota ini. Naas, aksi itu ketahuan oleh Frater Anton, pembina asrama kami. Sebagai hukuman, beberapa temanku harus berlari mengelilingi lapangan sepak bola tanpa baju di tengah malam. Aku beruntung, entah bagaimana, lolos dari hukuman itu.
Aku berdiri sejenak, menikmati keindahan Katedral dan kenangan di Motang Rua. Kemudian, aku melangkah kembali ke Hotel Ranaka. Di tengah perjalanan, aku meminta seorang pria yang melintas untuk memotretku dengan latar Kantor Bupati. Ini bukti bahwa aku pernah berada di titik ini dalam hidupku.
Saat kembali ke hotel, suasana mulai ramai. Teman-temanku sudah bersiap berkemas. Sarapan pagi menanti sebelum kami menuju Bandara Frans Sales Lega.
Ah, Ruteng. Kau selalu mengajakku pulang—jika tidak secara fisik, setidaknya dalam kenangan.***