gbm.my.id – Bila pada sebuah masa aku tiada, ada kabar menyapa sebelum senja. Bukankah ada batas bagi raga, tapi… tidak bagi jiwa? Seperti masa, kekal.

Secarik kertas bertuliskan puisi itu masih dalam genggaman Fatima. Didekapnya di dada, seakan ingin meresapi tiap kata yang tertulis di sana. Tubuhnya rebah perlahan, membiarkan air mata jatuh tanpa kendali, membasahi seprei merah muda yang kini merekam kesedihannya.

Di langit-langit kamar, ia melihat kenangan. Romantika di bawah ketapang tua kemarin bagaikan mimpi. Nurdin, yang begitu hangat dalam pelukannya, kini telah lenyap. Terhisap ke dalam rahasia lautan yang tak bertepi. Ia pergi terlalu cepat, secepat angin yang mencuri bisikan senja.

Fatima menyesali segalanya.

“Mengapa aku membiarkan Nurdin melaut?” gumamnya, nyaris tanpa suara.

Padahal firasat telah berbisik sejak semalam. Dalam tidurnya yang gelisah, ia melihat Nurdin duduk di beranda rumah, mengenakan pakaian lusuh. Wajahnya sendu, matanya seperti menyimpan cerita yang belum selesai.

Pagi itu, Fatima terbangun dengan dada yang sesak. Ia berlari ke pantai, berharap menemui Nurdin sebelum ia berangkat. Namun laut telah menelannya. Dan badai malam itu merampas segalanya.

II

Hari demi hari berlalu, tetapi Fatima tetap menunggu.

Pagi-pagi buta, ia selalu menuju pantai. Berdiri di tepian ombak, mencari bayangan perahu motor yang tak kunjung datang. Kerinduannya adalah ombak yang terus menghempas karang, tak henti, tak lelah.

Tapi laut tetap bungkam.

Siklus hidup Fatima berubah. Ia kehilangan waktu tidur, kehilangan selera makan. Wajahnya pucat, sorot matanya sayu. Setiap detik terasa begitu panjang tanpa kehadiran Nurdin. Namun, hatinya tetap bersikeras, yakin bahwa Nurdin masih hidup. Mungkin ia terdampar di pulau seberang. Mungkin ia sedang berjuang melawan nasibnya sendiri.

Fatima tak pernah mau percaya bahwa ia telah tiada.

III

Genap sebulan Nurdin menghilang.

Hari itu, langit cerah. Fatima turun ke pantai dengan harapan baru. Ia melihat beberapa perahu berlabuh di kejauhan. Dengan napas tertahan, ia melangkah mendekat.

“Fatima,” sapa seseorang. Lukman, seorang nelayan yang dulu bersahabat dengan Nurdin, berdiri di atas perahu.

Fatima menatapnya dengan mata penuh tanya. “Lukman, kau tahu di mana Nurdin?”

Lukman terdiam, lalu menggeleng perlahan. “Sebulan ini kami telah mencarinya. Tapi laut tak memberikan jawaban.”

Kesunyian tiba-tiba menyelimuti pantai. Riuh suara para nelayan pun meredam. Semua menatap Fatima dengan wajah duka.

Fatima ingin percaya bahwa Nurdin masih ada, tapi hatinya mulai meragukan keyakinannya sendiri.

IV

Di bawah ketapang tua, Fatima duduk termenung. Matanya menangkap sesuatu di kejauhan. Sehelai kain terapung di laut, perlahan mendekat ke tepian.

Jantungnya berdegup kencang.

Fatima berlari, melawan pasir yang menahan langkahnya. Ia meraih kain itu, menggenggamnya erat. Tangannya gemetar saat mengenali baju yang pernah dikenakan Nurdin malam itu.

Baju itu basah, lusuh, seperti membawa pesan dari lautan.

Fatima terduduk, tangisnya pecah. Seakan baru kali ini ia benar-benar memahami bahwa Nurdin telah tiada. Keyakinannya selama ini ternyata hanya ilusi yang dibangun oleh harapan. Laut telah mengambilnya, menyimpannya dalam pelukan abadi.

Tapi Fatima tahu, hidup harus berlanjut. Ia bangkit, mengusap air mata, lalu menyentuh perutnya yang mulai membuncit. Di sana, ada kehidupan baru. Sebuah cinta yang masih harus ia jaga.

Nurdin mungkin telah hilang, tapi keajaiban tetap ada.

Fatima menatap laut untuk terakhir kalinya hari itu. Angin berhembus lembut, membawa bisikan yang entah datang dari mana.

Dan di sana, di batas cakrawala, ia seakan melihat bayangan Nurdin tersenyum padanya.