gbm.my.id – Aku dihantui oleh pertanyaanku sendiri. Bergulat dalam pikiran dengan misteri kata “molas” itu. Adakah sesuatu yang lebih sakral dari sekadar sebutan? Adakah makna yang tak terungkap di balik setiap suku katanya?

Pesta sekolah itu menjadi peristiwa yang mempertemukanku dengan seorang gadis remaja. Rambutnya hitam pekat, jatuh terurai di punggungnya seperti helaian malam yang tenang. Sepintas, orang mungkin mengira dia gadis Korea. Tapi tidak. Ia gadis asli kampung ini. Dan ia, tanpa diragukan, begitu memesona.

Sorot matanya tajam, menyimpan rahasia yang hanya bisa diungkap oleh waktu. Ada kelembutan yang berpendar di balik ketegasan sikapnya, seolah-olah ia adalah bait puisi yang belum sempat dituliskan. Aku berterima kasih pada sahabatku, VeGan, yang mengundangku ke pesta ini, sebab tanpa itu, mungkin aku takkan pernah bertemu dengannya.

Aku duduk di sudut ruangan, mengamati dari kejauhan. Ia mengenakan gaun merah, mencolok di antara tamu-tamu lain yang berbalut warna-warna lembut. Sungguh, kehadirannya seperti bara api yang menari di tengah malam yang dingin. Aku tergoda, tertarik dalam pusaran perasaan yang bahkan tak bisa kupahami sepenuhnya.

Lalu, entah dari mana datangnya keberanian itu, aku melangkah mendekat. “Ayo, Enu,” ucapku, mengulurkan tangan, mengajaknya menari. Ia tidak langsung menjawab, hanya tersenyum. Senyum yang bagiku adalah rahasia semesta yang ingin sekali kupahami. Aku bertahan, menunggu hatinya luluh. Dan akhirnya, ia berdiri, menyambut ajakanku.

Kami berdansa dalam hening, hanya suara musik dan napas yang saling bersahutan. Aku bisa merasakan detak jantungku sendiri, berpacu dengan ketukan lagu. Ketika akhirnya musik berhenti, aku membisikkan terima kasih.

“Sama-sama, Nana,” sahutnya.

Sofia. Begitulah ia memperkenalkan dirinya. Tapi bagiku, ia adalah “Molas”. Sebuah kata yang sempurna untuk seorang wanita yang sesempurna dirinya. Namun, saat kusebut itu, ia menolak.

“Namaku Sofia,” katanya tegas.

“Tidak, Molas.”

“Sofia. Titik.”

Aku tersenyum, tetap ingin memanggilnya seperti yang hatiku bisikkan. Tapi sesuatu dalam ekspresinya berubah. Wajahnya yang putih bersih berubah merah padam. Ia melepaskan tangannya dan berlari menuju tempat duduknya. Aku menyusul, mencoba meminta maaf, tapi ia tak menggubris. Malam yang semula begitu indah kini terasa beku.

Aku duduk di sampingnya, menunggu kata-kata mengalir di antara kami. Namun, hanya sunyi yang menjawab. Aku melihat para lelaki lain datang mengajaknya berdansa, tapi ia menolak. Dan aku, aku hanya bisa mengamati, bertanya-tanya apakah aku telah menggores hatinya.

Lalu, sebuah lagu lain diputar. Aku menoleh padanya, berharap dapat memperbaiki kesalahanku.

“Sofia, ayo berdansa lagi.”

“Tidak mau.”

“Jangan begitu.”

Ia menatapku, matanya menyiratkan sesuatu yang tak kumengerti sepenuhnya. “Itu hakku. Ada saat aku menerima, ada saat aku menolak.”

Aku terdiam, menerima keputusannya. Namun, ada sesuatu yang berdenyut di dalam dadaku. Sesuatu yang membuatku ingin lebih mengenalnya, lebih memahami dunianya.

Malam terus beranjak. Musik terus mengalun. Tapi di antara kami, ada sebuah kisah yang belum selesai. Sebuah kisah yang mungkin tak memerlukan kata-kata, hanya perlu waktu untuk mengerti.

Dan aku tahu, pertemuan ini hanya awal. Sebab di dalam matanya, ada petualangan yang menunggu untuk dijalani.

Sofia terdiam sejenak. Ia menatapku, seakan mencari makna di balik kata-kataku. Lalu, ia menarik napas panjang, dan tersenyum tipis.

“Aku tidak ingin dipanggil Molas karena bagiku kecantikan bukan hanya soal rupa. Kata itu seakan menuntut kesempurnaan yang aku sendiri tidak yakin aku miliki,” ujarnya pelan.

Aku mengangguk, mencoba memahami. “Tapi bagiku, Molas bukan sekadar kata. Ia adalah ekspresi, penghargaan, juga kekaguman. Dan aku tidak mengatakannya untuk sembarang orang.”

Sofia mengalihkan pandangan ke arah langit malam. Bintang-bintang berpendar lembut di angkasa, menyaksikan perbincangan kami yang semakin dalam. Musik pesta masih bergaung, tetapi bagiku, dunia kini hanya berisi aku dan Sofia.

“Kamu terlalu banyak bicara, Marvel,” katanya sambil tersenyum, kali ini lebih lepas. “Ayo kita berdansa lagi.”

Aku menggenggam tangannya dan membimbingnya ke tengah arena. Lagu “Baby Blue” masih mengalun, dan Sofia kembali menyesuaikan langkahnya dengan irama. Kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Ia tak lagi sekadar menari. Ia berbicara denganku lewat gerakan, lewat tatapan. Aku dapat merasakan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar tarian.

“Sofia,” bisikku.

“Apa?” Ia menatapku.

“Bolehkah aku tetap memanggilmu Molas… di dalam hatiku?”

Ia terdiam, lalu menunduk sedikit, membiarkan dirinya hanyut dalam irama musik. Aku tahu, ia tidak bisa melarang isi hatiku. Ia hanya ingin tetap menjadi dirinya sendiri.

“Aku akan pulang sebentar lagi,” katanya setelah musik berhenti.

Aku menatapnya, ingin menahannya lebih lama, tetapi aku sadar, malam tak bisa kami genggam selamanya.

“Bolehkah aku mengantarmu pulang?” tanyaku.

Sofia tersenyum. “Tidak perlu, rumahku dekat. Lagipula, kita akan bertemu lagi, bukan?”

Aku terdiam, meresapi kata-katanya. Aku ingin percaya bahwa ini bukan pertemuan terakhir. Bahwa esok atau lusa, takdir akan kembali mempertemukan kami.

Sofia melangkah pergi, meninggalkan jejak yang tak kasat mata di hatiku. Aku menghela napas, lalu menatap langit. Malam semakin larut, tapi kehangatan pertemuan ini masih terasa.

Aku tersenyum kecil. Namamu mungkin bukan Molas, Sofia, tapi bagiku, kamu tetap indah—dengan atau tanpa panggilan itu.

Sofia terdiam sejenak. Ia menatapku, seakan mencari makna di balik kata-kataku. Lalu, ia menarik napas panjang, dan tersenyum tipis.

“Aku tidak ingin dipanggil Molas karena bagiku kecantikan bukan hanya soal rupa. Kata itu seakan menuntut kesempurnaan yang aku sendiri tidak yakin aku miliki,” ujarnya pelan.

Aku mengangguk, mencoba memahami. “Tapi bagiku, Molas bukan sekadar kata. Ia adalah ekspresi, penghargaan, juga kekaguman. Dan aku tidak mengatakannya untuk sembarang orang.”

Sofia mengalihkan pandangan ke arah langit malam. Bintang-bintang berpendar lembut di angkasa, menyaksikan perbincangan kami yang semakin dalam. Musik pesta masih bergaung, tetapi bagiku, dunia kini hanya berisi aku dan Sofia.

“Kamu terlalu banyak bicara, Marvel,” katanya sambil tersenyum, kali ini lebih lepas. “Ayo kita berdansa lagi.”

Aku menggenggam tangannya dan membimbingnya ke tengah arena. Lagu “Baby Blue” masih mengalun, dan Sofia kembali menyesuaikan langkahnya dengan irama. Kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Ia tak lagi sekadar menari. Ia berbicara denganku lewat gerakan, lewat tatapan. Aku dapat merasakan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar tarian.

“Sofia,” bisikku.

“Apa?” Ia menatapku.

“Bolehkah aku tetap memanggilmu Molas… di dalam hatiku?”

Ia terdiam, lalu menunduk sedikit, membiarkan dirinya hanyut dalam irama musik. Aku tahu, ia tidak bisa melarang isi hatiku. Ia hanya ingin tetap menjadi dirinya sendiri.

“Aku akan pulang sebentar lagi,” katanya setelah musik berhenti.

Aku menatapnya, ingin menahannya lebih lama, tetapi aku sadar, malam tak bisa kami genggam selamanya.

“Bolehkah aku mengantarmu pulang?” tanyaku.

Sofia tersenyum. “Tidak perlu, rumahku dekat. Lagipula, kita akan bertemu lagi, bukan?”

Aku terdiam, meresapi kata-katanya. Aku ingin percaya bahwa ini bukan pertemuan terakhir. Bahwa esok atau lusa, takdir akan kembali mempertemukan kami.

Sofia melangkah pergi, meninggalkan jejak yang tak kasat mata di hatiku. Aku menghela napas, lalu menatap langit. Malam semakin larut, tapi kehangatan pertemuan ini masih terasa.

Aku tersenyum kecil. Namamu mungkin bukan Molas, Sofia, tapi bagiku, kamu tetap indah—dengan atau tanpa panggilan itu.