gbm.my.id – Nurdin melemparkan sauh ke dasar laut dangkal. Seutas tali ia ikatkan pada tiang beton di tembok pembatas. Lalu, dengan langkah ringan namun sarat kerinduan, ia turun dari perahu.
Di darat, Fatima menunggunya. Senyumnya mengembang, matanya berbinar menyambut lelaki yang selalu kembali. Nurdin mempercepat langkahnya, tak sabar untuk merengkuh Fatima dalam dekapannya. Seperti biasa, ia mengecup kening Fatima, membiarkan kehangatan mengalir di antara mereka.
“Nurdin, kau tak melaut semalam?” tanya Amir, tiba-tiba mengusik suasana.
“Melaut, Bele. Aku baru saja turun. Kau sendiri?”
“Tidak, anak bungsuku sakit.”
“Sudah periksa ke dokter?”
“Sudah.”
Amir pamit, seolah menyadari dirinya telah mengganggu. Fatima dan Nurdin kembali berjalan, menuju ketapang tua di sudut pantai. Di bawah rindangnya, mereka duduk. Fatima menyandarkan kepala pada bahu Nurdin, sementara jemari Nurdin bermain-main dengan helai rambutnya yang tergerai. Ombak berdebur lembut, angin berbisik di antara daun-daun ketapang, mencipta melodi alam yang syahdu.
Nurdin lalu melakukan kebiasaannya. Memahat kata, membangun bait. Ia dikenal sebagai pujangga di masa SMA, lelaki yang puisinya memikat banyak hati. Namun hanya Fatima yang ia pilih.
“Menepi di pantai Menguping suara alam Deburan ombak Desis angin…”
Fatima terbuai. Matanya hampir terpejam ketika suara Nurdin berhenti.
“Lanjutkan, sayang,” pintanya pelan.
“Suara itu tercemar Nada sumbang musisi Pekakan telinga Keheningan sirna-menguap Antara pekatnya malam…”
Suaranya bergelombang, mendayu. Nurdin mengakhiri syairnya dengan kecupan di kening Fatima. Dalam diam, mereka menikmati kebersamaan yang tak butuh banyak kata.
“Nurdin, bisakah malam ini kau tak melaut?” Fatima bertanya tiba-tiba.
“Kenapa, sayang?”
Fatima menggeleng. “Hanya malam ini.”
“Sayang, purnama baru saja usai. Biasanya, hasil tangkapan akan lebih banyak.”
Fatima menunduk. Nurdin mengangkat wajahnya dengan lembut, mencium bibirnya penuh gairah. Laut dan angin menjadi saksi, pohon ketapang merestui. Tapi, cinta tak selalu memihak pada yang berharap.
Saat matahari condong ke barat, Nurdin akhirnya memutuskan untuk kembali melaut. Fatima menyiapkan perbekalannya dengan perasaan berat. Ia ingin menahannya, tapi tahu bahwa laut selalu memanggil Nurdin.
“Fatima, aku berangkat sekarang. Pulanglah ke rumah, jaga dirimu baik-baik.”
Fatima mengangguk, menahan air mata yang hampir luruh. Ia menatap Nurdin yang mulai menghidupkan mesin perahu, lalu melihat perahu itu beranjak menjauh, hingga hanya tersisa titik kecil di cakrawala.
**
Malam tiba dengan hujan deras. Petir menyambar-nyambar, angin mengamuk di langit Laut Sawu. Fatima terjaga, hatinya dipenuhi keresahan. Bayangan Nurdin menari-nari dalam benaknya. Namun tak ada yang bisa ia lakukan selain berdoa.
Pagi menjelang, Fatima bergegas ke pantai, seperti biasa, menunggu Nurdin pulang. Tapi pantai sepi. Laut kelabu, dihiasi sampah yang terbawa arus deras. Ia menunggu seharian, tapi Nurdin tak juga datang. Hingga senja menjemput, Fatima pulang dengan hati remuk.
Di rumah, tanpa sengaja ia membuka kotak tempat Nurdin menyimpan dokumen-dokumen penting. Di dasar kotak itu, terselip secarik kertas lusuh. Jemarinya gemetar saat membukanya.
“Fatima… Kutitip senja Sebelum matahari berpulang Juga… Fajar yang merekah Seperti kau datang dan pergi Menghantar dan menjemputku Saban waktu
Kiranya ketapang Atap kita berlindung Menjadi memori Seperti pohon sukun Soekarno temukan falsafah negara Di bawah rindang ketapang Aku temukan falsafah Falsafah cinta kita Falsafah kesetiaan Seperti sang pelaut Menahan hempasan ombak Sekalipun maut menjemput Pada tapal batas samudera dan kaki langit”
Air mata Fatima pecah. Dadanya sesak oleh rasa kehilangan yang belum berujung. Nurdin belum kembali, dan entah kapan ia akan kembali. Tapi Fatima tetap menunggu. Seperti pantai yang selalu menerima ombak. Seperti ketapang yang tetap tegak meski diterpa angin.
Dan seperti laut yang setia menanti kepulangan perahu yang telah pergi.