gbm.my.id – Rabu, 9 September 2015, saya menghadiri Australian Alumni Reception di Hotel Aston Kupang. Di lobi hotel, tepat di dinding resepsionis, berbagai motif tenun ikat Nusa Tenggara Timur terpampang dengan indah. Coraknya beragam, warnanya memikat, dan tampilannya begitu menarik perhatian siapa saja yang melintas.
Teman saya, Budiyanto, terpesona. Ia tak henti-hentinya mengagumi keindahan kain-kain tersebut. Warisan budaya yang diwariskan turun-temurun ini kini semakin dikenal luas, tidak hanya sebagai bagian dari tradisi, tetapi juga sebagai tren fashion modern yang membanggakan masyarakat NTT.
Namun, di tengah pesona yang kian meluas, tenun ikat masih menghadapi tantangan besar untuk menyaingi batik. Batik telah melampaui batas-batas benua dan samudera, menjadi ikon budaya Indonesia yang mendunia. Salah satu keunggulan batik terletak pada diferensiasi yang jelas—setiap motif memiliki fungsi yang spesifik, baik untuk pakaian formal, kasual, maupun dekorasi. Batik untuk pakaian pesta memiliki motif berbeda dengan batik untuk pakaian tidur, demikian pula motif batik untuk taplak meja tidak sama dengan motif batik untuk selendang.
Inilah yang masih menjadi pekerjaan rumah bagi tenun ikat NTT. Sampai saat ini, belum ada pembedaan yang tegas antara motif untuk pakaian dan motif untuk dekorasi. Tidak jarang kita melihat seseorang mengenakan jas atau baju dengan motif yang sama persis dengan kain meja atau dekorasi pesta. Masalah ini mungkin tampak sepele, tetapi bagi dunia fashion, hal ini adalah isu serius yang harus segera diselesaikan jika tenun ikat ingin tetap eksis dan bersaing dengan produk industri modern.
Para pegiat tenun ikat harus lebih kreatif dan inovatif. Mereka perlu keluar dari pola tradisional dan mulai melihat tenun ikat sebagai bagian dari dunia fashion yang dinamis. Tenun ikat tetap harus mempertahankan corak dasar dan karakteristiknya, tetapi juga harus berani berkreasi dengan motif yang lebih futuristik dan berorientasi pada fashion.
Untuk mewujudkan idealisme ini, pemerintah dan berbagai lembaga (NGO) harus berperan aktif dalam mendukung para pelaku ekonomi kreatif. Bantuan finansial dan materi saja tidak cukup; pelatihan desain motif dan pemahaman tentang fashion juga sangat diperlukan. Para perajin tenun dan pengusaha tekstil harus dibekali wawasan baru tentang bagaimana menghasilkan tenun ikat yang sesuai dengan tuntutan pasar fashion tanpa kehilangan identitas budayanya.
Lebih dari itu, diferensiasi motif harus menjadi perhatian utama. Motif untuk jas, baju safari, selendang, dan aksesori lainnya harus dirancang secara spesifik agar tenun ikat tidak hanya menjadi pakaian adat atau suvenir, tetapi juga menjadi bagian dari industri fashion yang kompetitif. Dengan demikian, tenun ikat tidak hanya bertahan sebagai warisan budaya, tetapi juga berkembang menjadi industri rumah tangga yang berdaya saing tinggi di pasar nasional dan internasional.
Pemerintah memiliki peran strategis dalam pengembangan industri tenun ikat. Selain memberikan bantuan modal dan fasilitasi pemasaran, pemerintah juga dapat mendorong program sertifikasi bagi tenun ikat berkualitas tinggi, menciptakan regulasi yang melindungi hak kekayaan intelektual perajin, serta memperkenalkan tenun ikat dalam ajang pameran internasional. Dukungan dalam bentuk kerja sama dengan desainer nasional dan internasional juga dapat membuka peluang baru bagi tenun ikat untuk masuk ke industri fashion global.
Dengan langkah-langkah konkret ini, diharapkan tenun ikat tidak hanya menjadi kebanggaan lokal, tetapi juga ikon fashion Indonesia yang diakui dunia.***

